Memiliki fungsi sebagai pelindung tubuh, pakaian (sandang) merupakan satu dari tiga kebutuhan pokok manusia, bersama dengan makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Namun, sejalan dengan perkembangan waktu, fungsi pakaian fungsi, bukan melulu sebagai pelindung tubuh dari terik matahari atau dinginnya udara, tapi juga sebagai sebuah status sosial, pembeda antara satu golongan dengan golongan lainnya, seperti yang terlihat di banyak kebudayaan dunia.
Memasuki abad ke 20, pakaian berkembang menjadi sebuah fashion, dimana pakaian kemudian dilengkapi dengan barang-barang penunjang seperti sepatu, tas dan beragam aksesori. Perkembangan ini didorong oleh, salah satunya, industri hiburan. Fashion kemudian menjadi semakin signifikan dengan kemajuan teknologi manufaktur. Inovasi teknologi yang melahirkan serat sintetis (polyester, nylon) dan pewarna buatan mampu menggantikan serat dan pewarna alam, sehingga produk fashion dapat diproduksikan dalam jumlah yang cukup besar dengan waktu produksi yang cukup singkat. Kemajuan teknologi, transportasi dan globalisasi membuka jalan bagi perusahaan fashion untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam jumlah masif dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Konsep “fast fashion” diperkenalkan di dunia pada awal tahun 1990-an, dimana perusahaan-perusahaan fashion meluncurkan model pakaian, aksesori secara reguler empat kali dalam satu tahun, sesuai dengan musim di belahan Bumi bagian Utara. Belakangan, perubahan tren fashion semakin cepat yang didorong oleh teknologi Internet. Platform media sosial semakin mempercepat perubahan tren fashion, sehingga melahirkan fenomena baru yaitu ultra-fast fashion. Perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kategori ini dapat mengeluarkan ratusan model pakaian baru dalam satu hari.
Tidak mengherankan apabila industri fashion dianggap salah satu industri yang memberikan tekanan yang cukup besar kepada lingkungan hidup. Selain menghasilkan emisi gas rumah kaca yang cukup besar, 2-4%, industri ini juga menghasilkan 20% limbah cairan dan pengkonsumsi energi yang cukup besar; lebih besar bahkan dibandingkan dengan konsumsi industri perkapalan plus aviasi.
Namun demikian, industri fashion ini namun merupakan industri yang sangat penting, terutama untuk negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Bangladesh, India dan Vietnam juga tercatat sebagai negara dengan industri tekstil yang cukup besar. Khusus untuk Indonesia, komoditas tekstil dan produk-produknya menempati peringkat empat komoditas ekspor Indonesia (Kementerian Perindustrian, 2020) dengan nilai ekspor USD 10,63 Miliar.
Industri tekstil juga merupakan salah satu sektor yang cukup padat karya dan melibatkan banyak sekali pekerja dan pelaku bisnis skala mikro dan kecil di dalam rantai nilainya. Di tingkatan global, industri ini mempekerjakan sekitar 60 Juta orang yang sebagian besar adalah perempuan.
Di Indonesia sendiri industri tekstil dan produk tekstil menyerap hingga 3,65 juta tenaga kerja pada tahun 2020. Indonesia merupakan negara yang memiliki industri tekstil dengan struktur yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir, mulai dari industri pembuatan serat sintetis (fiber making), industri pemintalan benang (spinning), industri pertenunan (weaving), industri perajutan (knitting), industri pencelupan, pencetakan dan penyempurnaan (dyeing, printing, finishing) sampai dengan industri pakaian jadi (garment), serta industri barang jadi tekstil.
Menyadari dampak industri fashion kepada lingkungan hidup, sejak beberapa tahun lalu, pemilik merk-merk besar mulai mengambil langkah untuk melakukan bisnis secara lebih bertanggung jawab. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran konsumen akan dampak industri fashion kepada lingkungan hidup. Merespon ini sejumlah besar brand-brand fashion dunia menyusun ulang visi keberlanjutan untuk mencapai target ‘net zero emission’ di tahun 2050. Pemilik brand-brand besar telah menandatangani kesepakatan Fashion Industry Charter for Climate Action dalam pertemuan COP24 di Polandia di tahun 2018 lalu. Beberapa perusahaan besar yang sudah menandatangani kesepakatan ini diantaranya Inditex, LVMH, H&M Group, Levi Strauss & Co., Mango, Nike, Gap Inc., dan masih banyak lagi.
Situasi negara tujuan ekspor juga mulai menerapkan peraturan yang menjadikan faktor emisi sebagai salah satu variabel untuk memasuki pasar mereka. Sebut saja Uni Eropa yang akan segera memberlakukan Carbon Border Adjustment Mechanism di 2023. Kebijakan yang merupakan bagian dari Euro Green Deal ini akan mengenakan pajak lebih tinggi untuk produk-produk yang menghasilkan emisi lebih tinggi pula dalam proses produksinya.
Perusahaan-perusahaan besar ini memiliki banyak supplier di Indonesia yang, cepat atau lambat, dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan rendah emisi dalam proses produksinya. Berdasarkan situasi dan tuntutan-tuntutan yang berkembang itu, sangat penting bagi IPTP Indonesia untuk segera bertransformasi menuju industri rendah emisi, untuk dapat meningkatkan daya saing dan keberlanjutan bisnisnya di masa depan dengan menetapkan target-target penurunan emisi perusahaan.
Menurut SBTi (Science Based Target Initiative), target perusahaan untuk mengurangi GRK emisi dianggap berbasis sains jika sesuai dengan dengan realitas sains iklim terbaru untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris: untuk membatasi pemanasan global di bawah 2°C dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan bumi hingga 1,5°C.
SBTi telah mengembangkan panduan sektor apparel and footwear yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menghitung dan merencanakan aksi penurunan emisi di rantai nilai baik jangka pendek, maupun jangka panjang mereka sesuai dengan target penurunan emisi global.
Gambar 1. SBTi apparel, textile and footwear sector target scope
Target berbasis sains dapat meningkatkan kinerja perusahaan, memberikan keunggulan kompetitif dalam transisi ke ekonomi rendah karbon. Melalui perencanaan peta jalan penurunan emisi dengan target berbasis sains (SBT), perusahaan dapat menerima manfaat, seperti: meningkatkan ketahanan dan daya saing bisnis sehingga mendorong inovasi dan mengubah praktik bisnis, membangun kredibilitas dan reputasi baik ke konsumen maupun ke investor, serta bersiap dalam menghadapi ketidakpastian regulasi di tingkat lokal maupun global.