Berbicara soal mode, Bangladesh (mungkin) bukan referensi untuk para fashionista. Sampai hari ini, referensi mode masih menjadi domain negara-negara di belahan Bumi bagian Utara, yang adalah rumah bagi banyak merk-merk fashion ternama. Pengaruh dari negara-negara Utara tersebut memang sangat kuat. Saking kuatnya, kini bahkan koleksi busana musim dingin lazim dijual negara-negara tropis, termasuk Indonesia.
Meskipun Bangladesh bukan kiblat mode dunia, faktanya Bangladesh memiliki peran yang sangat penting di industri mode dunia. Negara Asia Selatan ini merupakan negara kedua terbesar pemasok produk-produk fashion, garmen dan apparel. Sebanyak 150 negara mengimpor tekstil dan apparel dari Bangladesh. Tidaklah mengherankan apabila label “made in Bangladesh” sangat lazim ditemukan di produk-produk tekstil dan apparel di seluruh dunia.
Industri tekstil, garment dan apparel dan fashion memang memiliki peran yang sangat penting Bangladesh yang membangun industri ini sejak tahun 1980an. Bukan saja industri ini memberikan kontribusi 20% terhadap Penerimaan Domestik Bruto (PDB) nasional, industri ini juga mempekerjakan empat juta orang yang sebagian besar merupakan perempuan.
Industri textil sangat penting bagi Bangladesh, sekitar 80% ekspor Bangladesh berasal dari industri tekstil, garment dan apparel, namun fakta bahwa industri tekstil tidak ramah lingkungan tidak dapat dinegasikan. Secara umum, industri tekstil menghasilkan emisi karbon dan limbah cair yang cukup signifikan. Menurut kajian dari lembaga non profit Global Fashion Agenda, industri fashion global menghasilkan 4% dari total emisi global (yang berasal dari penggunaan batubara) pada tahun 2020 dan terkait dengan penggunaan air, data dari UN Environmental Programme menyebutkan industri ini menempati peringkat kedua dalam hal konsumsi air. Pengelolaan limbah yang buruk juga mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan hidup, mencemari sungai-sungai yang menjadi tempat akhir pembuangan limbah tekstil. Industri tekstil yang menjadi tumpuan utama Bangladesh juga menjadi sumber pencemar sungai-sungai yang ada di Bangladesh. Menurut kajian dari World Bank setidaknya ada 72 bahan kimia dalam limbah tekstil menjadi polutan dan mencemari sungai-sungai karena tata kelola limbah yang buruk. Polutan ini dapat menutupi sinar matahari, menghalangi fotosintesis tanaman sungai seperti alga, mengurangi oksigen terlarut di dalam air dan berujung kepada kematian dari biota-biota yang ada di sungai. Saat ini, 60% polusi yang terjadi di Bangladesh berasal dari industri, dimana sektor tekstil dan apparel menempati peringkat ke dua (setelah sektor industri pengolahan kulit atau tannery). Yang lebih menyedihkan lagi, tiga sungai yang berada di dekat Dhaka, ibukota Bangladesh, dinyatakan mati secara biologi (biologically dead), akibat tingginya kadar polutan yang berasal dari limbah pabrik. Buruknya kualitas lingkungan hidup di wilayah industri tekstil secara langsung mempengaruhi kesehatan para pekerja industri tersebut. Pemerintah Bangladesh sendiri memasukkan industri ini ke kategori MERAH, karena dampak yang dihasilkan.
Inisiatif PaCT
Melihat besarnya peran Bangladesh dalam mata rantai industri fashion dunia, dan pentingnya industri ini bagi rakyat Bangladesh, pada tahun 2013 the International Finance Corporation (IFC) memulai program Partnership for Cleaner Textile (PaCT). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membantu pabrik-pabrik Bangladesh dalam mengadopsi praktik produksi yang lebih bersih. Program ini mendapat dukungan dari mitra pembangunan seperti Pemerintah Denmark, Australia, dan Belanda, dukungan implementasi dari Asosiasi Produsen dan Eksportir Garmen Bangladesh (BGMEA), serta kontribusi sektor swasta dari brand fashion multinasional dan penyedia teknologi.
Advokasi PaCT telah mengumpulkan Dana Transformasi Hijau senilai US$ 200 juta, yang melalui pemerintah Bangladesh digunakan mendukung pembiayaan lunak untuk efisiensi sumber daya di industri tekstil.
PaCT didesain secara holistik mengasistensi seluruh rantai nilai tekstil – pabrik pemintalan, penenunan, pemrosesan basah, dan garmen dalam mengadopsi praktik Produksi Bersih (CP) dan melibatkan brand fashion multinasional, teknologi, asosiasi industri, lembaga keuangan serta pemerintah Bangladesh untuk membawa perubahan lingkungan sistemik dan positif di industri tekstil Bangladesh serta berkontribusi pada daya saing dan kelestarian lingkungan hidup untuk jangka panjang.
Dilansir dari website resminya, PaCT adalah program pertama yang menggabungkan inovasi mutakhir untuk mengatasi tantangan keberlanjutan di industri tekstil. Ini mencakup transformasi berbiaya rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali dengan melakukan perubahan dalam praktik manajemen, modifikasi proses, sebelum menuju ke langkah perubahan yang membutuhkan investasi yang lebih besar seperti pengadaan alat-alat baru yang lebih efisien dalam konsumsi energi dan rendah emisi.
PaCT telah membantu lebih dari 338 pabrik untuk mengurangi konsumsi air bersih sebesar 25 juta m3/tahun dan mengurangi debit air limbah sebesar 21,08 juta m3/tahun. Pabrik-pabrik di Bangladesh saat ini sekarang menghemat energi 2,5 juta MWh/tahun dan menghindari emisi gas rumah kaca hingga 489.796 ton/tahun CO2 – setara dengan menghilangkan lebih dari 98.000 mobil dari jalan. Membantu pabrik memulihkan polusi dari bahan kimia yang digunakan dan dalam jangka panjang akan memangkas biaya operasional serta meningkatkan keuntungan. (Sebagai catatan, 75% dari sekitar 7000 pabrik tekstil berada di Dhaka dan wilayah sekitarnya)
Belajar dari Bangladesh
Sebagai salah satu negara dengan industri tekstil yang cukup besar, Indonesia tentu harus belajar dari apa yang sedang dilakukan di Bangladesh. Dampak perubahan iklim semakin terasa, sementara pola produksi yang didorong oleh pola konsumsi yang tidak berkelanjutan akan memberikan tekanan yang lebih besar kepada lingkungan hidup. Berbagai negara membuat kebijakan untuk meregulasi pasar demi memitigasi dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Indonesia juga merupakan salah satu negara produsen di rantai pasok industri fashion dunia. Dalam data yang dirilis oleh Growth Lab dari Harvard University, Industri ini juga menjadi salah satu sektor unggulan dengan menempati peringkat ke-3 dengan besaran 9,7 persen dari total ekspor komoditi Indonesia ke luar negeri pada tahun 2019.
Walaupun jika dibandingkan dengan Bangladesh yang industri tekstilnya 80% dari total komoditas ekspornya angka Indonesia terlihat kecil, Industri tekstil Indonesia tetaplah sektor besar dengan nilai perdagangan US$ 17,3 Miliar dan mempekerjakan banyak orang.
PaCT dapat menjadi contoh bagaimana kolaborasi lintas sektor dapat mendorong perubahan ke arah yang lebih berkelanjutan. Aktor-aktor dalam negeri Indonesia dapat mencontoh inisiatif ini untuk membuat perubahan sistemik di industri tekstil.
Saat dimana brand-brand fashion dunia berpartisipasi dan berkomitmen di dalam Fashion Industry Charter, sebuah pakta pernyataan yang mendorong industri fashion untuk menjadi nol emisi gas rumah kaca selambat-lambatnya di tahun 2050. Hal ini tentunya akan berimplikasi juga bagi industri tekstil Indonesia yang menjadi pemasok bagi banyak brand fashion dunia. Menempuh jalan keberlanjutan adalah keniscayaan jika ingin mendapatkan tempat di komunitas global yang sedang beramai-ramai melakukan upaya penyelamatan bumi dari dampak perubahan iklim.